PAK BI: TAHUN RESESI ADALAH TAHUN DISRUPTION

Baru saja menarik napas lega karena mulai lepas dari bayang-bayang pandemi COVID-19, kini kita semua dihantui oleh resesi yang diprediksi akan terjadi tahun depan. Banyak pelaku bisnis menjadi waswas dengan “gosip” resesi ini. Baru-baru ini, Pak Bi melakukan sesi Instagram Live bersama putri ketiganya, Sati Subiakto, untuk membahas tentang disrupsi dan pengalaman beliau menghadapi resesi.

 

Kata Sati, setelah dipikir-pikir resesi adalah bagian dari disruption, yang sebenarnya sudah terjadi berulang kali sejak dulu. Dengan pengalaman lebih dari 50 tahun, Pak Bi sudah mengalami disrupsi berkali-kali. Sebagai saksi hidup, Sati melihat sendiri bahwa ketika para pesaingnya tumbang, Pak Bi dan brand-brand yang diusungnya malah melejit ke atas di era resesi.

 

Saat terjadi disrupsi di eksternal atau makro yang berada di luar kendali kita, sebenarnya seperti apa sikap dan mental yang dibutuhkan para pebisnis dan brand untuk menghadapinya?

 

Kata Pak Bi, setiap pengusaha pasti membuat business plan yang intinya adalah analisa SWOT, yang terdiri dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan), dan Threat (ancaman). Banyak pebisnis mempelajari analisa SWOT tapi hanya untuk diisi saja, bukan dimaknai. 

 

Strength dan Weakness ini sifatnya mikro atau ada di dalam perusahaan. Apa saja kekuatan dan kelemahan kita dalam menghadapi Opportunity dan Threat yang datang dari eksternal atau makro? Sebelum menyusun kekuatan di dalam, yang sifatnya dapat kita kendalikan, kita harus menelaah faktor makro atau yang di luar kendali kita terlebih dahulu.

 

Menurut Pak Bi, ada lima sudut di makro yang perlu ditelaah hingga dua tahun lalu. Pertama, kemajuan teknologi menawarkan ancaman dan kesempatan; kedua, sisi ekonomi dengan faktor yang beragam seperti nilai tukar dolar ke rupiah dan peperangan; ketiga, public policy (kebijakan publik) yang terdiri dari peraturan perundangan pemerintah, apakah akan membuka peluang atau memberikan ancaman terhadap kita. Contohnya, pemerintah memberikan keringanan pajak atau insentif lainnya yang menguntungkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Namun, ada juga aspek yang tidak bisa mereka kontrol, yaitu kebijakan dari luar negeri.

 

Keempat adalah kultur, contohnya peralihan konsumen terbesar dari millennial, yang kini sudah lebih tua, ke Gen Z — yang tentunya membawa perubahan budaya karena perilaku konsumsi yang berbeda. Terakhir, ada juga sudut yang baru muncul sekitar dua tahun lalu yaitu pandemi, yang sifatnya mendunia dan tidak bisa kita kontrol.

 

Kelima sudut ini melakukan disrupsi atau perusakan yang mengakibatkan kita tidak berdaya. Contohnya, kita semua harus diam di rumah saat pandemi COVID-19, mall dan tempat umum lainnya terpaksa tutup karena kebijakan pemerintah untuk menekan penularan, sehingga menyebabkan aktivitas masyarakat terhenti — di sinilah pentingnya kita memahami ekonomi makro.

 

Di mana letak resesi? Resesi itu adanya di sudut ekonomi, dengan banyaknya faktor atau latar belakang yang menyebabkan itu terjadi. Misalnya, di Eropa saat ini musim dingin sementara pasokan minyak bumi berkurang. Banyak pekerja yang di-PHK sehingga menyebabkan daya beli turun, dan harga barang naik karena pekerja semakin sedikit. 

 

Meskipun terjadi di benua yang jauh dari kita, masyarakat Indonesia harus memikirkan apa pengaruhnya ke Indonesia dan tidak terbuai dengan pernyataan pemerintah seperti “pertumbuhan ekonomi dunia adalah 5,5 persen” karena itu adalah sekadar angka. Padahal yang penting untuk dipikirkan adalah kenyataannya, apakah kita masih bisa makan tiga kali sehari? Kalau banyak yang di-PHK, daya beli dalam negeri turun dan membuat rakyat hanya bisa makan satu atau dua kali sehari sehingga tingkat konsumsi secara umum akan melemah.

 

Apakah resesi itu sama dengan krisis? Menurut Pak Bi, kedua hal ini tidak terlalu sama karena krisis masih memberikan ancaman tapi juga peluang, sedangkan resesi tidak menyisakan peluang karena masyarakat tidak memegang uang. 

 

Sebagai orang yang tertarik dengan branding, kita harus mengetahui apa yang harus dilakukan dalam menghadapi resesi. Sati menyimpulkan bahwa teman-teman UKM harus belajar untuk semakin tajam dalam membuat analisa SWOT dan memaknainya karena harus bisa diterapkan langsung di kehidupan nyata, bukan lagi untuk tugas kuliah di mana kita bisa menuliskan jawaban-jawaban yang “cantik.”

 

Kalau ancaman lebih besar dari peluangnya, bisnis kita akan terpengaruh. Seperti lingkaran, daya beli turun berarti membuat suplai kita berkurang, bahkan membuat pengusaha melakukan pengurangan seperti merumahkan pegawai atau tidak membayar mereka sepenuhnya, yang berujung dengan menurunnya daya beli masyarakat secara umum. Kalau peluangnya lebih besar, maka pengusaha otomatis akan menambah stok produk dan tenaga kerja sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli.

 

Disrupsi bukan hanya satu arah, seolah-olah digital atau internet melakukan disrupsi dan kita menjadi “korban.” Padahal, kita juga bisa melakukan disrupsi kepada pesaing kita, perlu diingat bahwa ketika resesi atau krisis maka “kuenya” mengecil karena daya belinya turun — misalnya dari 10 juta pembeli ayam geprek sekarang tinggal 5 juta orang yang mampu membelinya. 

 

Nah, ketika kue tinggal separuhnya, bagaimana kita bisa mempertahankan market share. Kalau selama ini kita menguasai 20 persen atau 2 juta pembeli, seharusnya kita tidak mempertahankan persentasenya, melainkan volumenya. Bagaimana di dalam pasar yang mengecil itu persentase kita naik menjadi 40 persen, karena kita mempertahankan 2 juta pembeli itu? Di saat krisis, kita sebagai pengusaha tidak bisa melakukan kolaborasi dengan yang lain karena ini adalah situasi kill or to be killed (membunuh atau dibunuh).

 

Selama 50 tahun sebagai praktisi, Pak Bi sudah mengalami krisis tahun 1998, 2008, dan 2018 dengan situasi krisis yang berbeda-beda. Ketika krisis tahun 1998, klien menahan uang karena konsumennya juga melakukan demikian. Budget iklan adalah budget yang paling mudah dipotong, sehingga menyebabkan biro iklan tidak memiliki kapasitas untuk beroperasi. 

 

Dengan budget iklan yang menurun sehingga otomatis menyebabkan stasiun televisi menurunkan rate-nya, saat itu Pak Bi melakukan terobosan dengan mengambil slot blocking time satu jam dan menciptakan program yang memberitahu konsumen kalau sebuah brand atau produk, yang menjadi sponsor, masih tersedia untuk mereka. 

 

Apa yang perlu dilakukan sebuah brand untuk bisa agile atau tangkas dalam masa resesi? Selain mempertahankan market share, kita mau tidak mau menggeser pesaing kita. Apakah Anda mau menjadi yang nomor satu atau substitusi, kuncinya ada di positioning. Bagaimana cara kita menduduki benak konsumen sehingga bisa menggeser para pesaing?

 

Video Instagram Live Pak Bi dan Sati Subiakto dapat disaksikan selengkapnya di bawah ini:

 

 

Untuk para alumni Bisa Bikin Brand (BBB) yang ingin mengetahui cara menciptakan disrupsi di era resesi, jangan sampai lewatkan workshop offline Brand Disruption di The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place pada 20 Desember 2022. Kata Pak Bi, ilmu tertinggi yang beliau bagikan kepada para alumni hanya terdapat di workshop ini. Pendaftaran bisa dilakukan melalui link yang terdapat di bio Instagram @Subiakto atau klik di sini, atau Anda juga bisa menghubungi admin Kasim melalui WhatsApp di 085223944575.

Penulis: Nadia VH

@nadiavetta