Press Release: [Forum Humas BUMN] Ketika Humas Bukan Public Relations

PR Tanpa Batas

Bandung (24/8) – Humas (praktek hubungan masyarakat) berbeda dengan public relations, karena tugas humas ialah “pemadam kebakaran”. Karena humas sendiri yang menyampaikan counter-opinion atau penyampai pesan pihak pertama. Berbeda dengan praktek public relations yang merupakan third-party endorsement atau menggunakan mulut pihak ketiga untuk menyampaikan pesan yang diinginkannya. Hal tersebut diungkapkan oleh praktisi branding kawakan, Subiakto Priosoedarsono pada Seminar Branding & Social Media yang digelar oleh Forum Humas BUMN di Bandung, Jawa Barat (22/8).

Seminar bertajuk “PR Tanpa Batas” tersebut diikuti oleh puluhan pekerja kehumasan/public relations dari berbagai BUMN di Indonesia. Mulai dari BUMN yang bergerak di bidang jasa yang segmented seperti PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) atau Pelindo III dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Hingga perusahaan negara di bidang jasa yang langsung berhubungan dengan konsumen end-user, seperti PT Pegadaian (Persero) dan PT Bank Mandiri Tbk. Tak hanya jasa, BUMN dengan produk berupa barang juga hadir, seperti PT Semen Indonesia Tbk. dan lainnya. “Forum Humas BUMN dibentuk untuk mengelola citra baik BUMN dengan mengomunikasikan kinerjanya kepada masyarakat”, kata Staf Ahli Bidang Komunikasi Strategis dan Hubungan Industrial Kementrian BUMN Hambra pada acara pembukaan sehari sebelumnya. Acara juga dihadiri Ketua Presidium FH BUMN Purwanto dan Direktur Pelaksana yang baru, Riana Setyaningrum.

Di era persaingan bisnis yang sangat gencar seperti sekarang ini. Pekerja kehumasan/public relations bukan cuma menjaga citra perusahaan, tetapi juga dituntut untuk turut mendorong kinerja bisnis. Misalnya dengan memoles brand (merk) dan memasarkan produknya. “Brand adalah ikatan emosi antara produk Anda dengan konsumen, di mana titik kritisnya terletak pada seberapa Anda bisa menciptakan nilai yang kontekstual”, jelas Subiakto. Jadi hanya dengan melihat logo brand, orang sudah bisa mengingat atau merasakan manfaat yang diberikan brand tersebut.

PR Tanpa batas2

Subiakto yang berada di dapur belakang layar konsep branding kopi permen “Kopiko” menegaskan pentingnya memahami konsumen dalam mengenalkan suatu produk. “Kenapa ‘Kopiko’ saya sebut kopi permen bukan permen kopi?’ Karena jika produknya permen maka target marketnya anak-anak dengan keputusan beli dipengaruhi oleh orang lain, yakni orang tuanya. Padahal orang tua cenderung melarang anaknya keseringan makan permen”, jelasnya. Praktisi yang aktif mencuit di Twitter dengan akun @Subiakto tersebut kemudian mengungkapkan bahwa dengan pertimbangan itulah ‘kopiko’ menjadi kopi permen dengan target market orang dewasa peminum kopi. “Kopiko, gantinya ngopi”, ujarnya sembari menirukan nada slogan produk ‘kopiko’ yang sering didengar dalam iklan versi televisi. Gencarnya penyebutan slogan tersebut pada media televisi dan radio sejak akhir tahun 1980-an hingga kini diyakini menjadi kunci kesuksesan produk tersebut.

The New Media

Terkait branding, selain optimalisasi media massa, saluran lain yang bisa dimanfaatkan ialah media sosial. Dua narasumber lain yang berbagi pengalaman terkait sosial media yaitu Kepala Humas Pelindo III Edi Priyanto dan pengelola media sosial korporat PT Semen Indonesia Tbk., Arief Hermawan. “Di Indonesia setidaknya ada 93 juta pengguna internet dengan lebih dari setengahnya merupakan generasi muda yang dikenal sebagai digital native atau lahir dan tumbuh di era internet. Selain dunia hiburan, media sosial menjadi hal yang paling diakses orang Indonesia di jagad internet”, kata Edi mengutip data lanskap digital negeri ini.

Lebih lanjut Edi menjelaskan bahwa kebetulan program pemerintahan saat ini yang concern di bidang maritim sejalan dengan Pelindo III. Namun hal tersebut tak serta merta membuat BUMN kepelabuhanan tersebut menjadi jor-joran mencitrakan diri. “Humas harus piawai mengatur ritme tampil di media (massa). Kami ‘ramai’ di media massa saat ada pencapaian yang perlu disampaikan ke masyarakat. Karena prestasi pengembangan perusahaan BUMN harus berdasarkan adanya kebutuhan masyarakat”, jelasnya. Kemudian ia mencontohkan ramainya pemberitaan tentang peresmian anak usaha Pelindo III, Terminal Teluk Lamong yang merupakan terminal berkonsep hijau pertama di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.

Di sisi lain, Arief mengupas pengalamannya mengelola manajemen krisis. Pihaknya mengoptimalkan penggunaan 10 media sosial teratas untuk menetralisir tuduhan proyek pembangunan pabrik yang diduga merusak lingkungan. Tuduhan tersebut bergulir bak bola liar di media sosial, hingga suatu ketika akun Twitter Sekjen PBB Ban Ki-moon turut menanggapi isu tersebut. “Dari situ kita belajar bahwa isu yang marak di media soisal, jika dibiarkan dapat dianggap menjadi ‘kebenaran’ oleh khayalak”, katanya.

Bak pisau bermata dua, di sisi sebaliknya media sosial juga bisa berbahaya jika tidak dikelola dengan terencana. Arief menyampaikan tentang perlunya regulasi pengelolaan akun media sosial korporat demi mencegah dampak yang justru kontraproduktif. Kadang bisa menegangkan karena humas harus mengambil keputusan cepat di media sosial yang berhadapan dengan sisi birokrasi perusahaan. “Ada risiko jabatan di situ”, candanya disambut tawa hadirin.

“Padahal sebenarnya banyak fakta yang direkayasa sehingga humas perlu meluruskan. Tapi berita negatif (informasi bohong) tidak harus langsung direspon, tunggu momentum yang tepat untuk meluruskan kumpulan informasi yang salah”, ujarnya berbagi trik. Pria berkacamata itu juga membagi langkah lainnya untuk meluruskan berita negatif, yakni dengan mengundang buzzer/social media icon untuk berkunjung dalam kegiatan bertema Wisata Green Industry. “Mereka akan melihat sendiri proyek hijau perusahaan, seperti pembangunan embung di pabrik Tuban yang membantu peningkatan intensitas panen petani sekitar dan lokasi bekas pabrik di Gresik yang kini dimanfaatkan untuk Tempat Pembuangan Akhir berteknologi zero waste”, ceritanya. Akhirnya tak sedikit di antara aktivis media sosial tersebut yang kini menjadi komunitas yang pro dengan kampamye “Green Industry” yang diusung perusahaan.

Edi Priyanto membenarkan pentingnya komunitas bagi praktek public relations. “Ada program Pelindo III Youth Camp dengan anggota mahasiswa dan fresh graduates terpilih yang telah mengikuti lokakarya kepemimpinan dan pembekalan bidang kepelabuhanan. Mereka menjadi calon pemimpin generasinya yang paham dengan potensi bangsa maritim bersama Pelindo III”, jelasnya.

Selain itu sosial media juga dapat menjadi wahana untuk berkorespondensi cepat bersama audience di internet yang berjejaring dengan Pelindo III. “Contoh kasus pernah ada kasus penipuan bermodus rekrutmen pegawai yang dapat segera ditanggulangi karena ada laporan melalui Facebook”, cerita Edi. Peristiwa tersebut menggambarkan dengan apa yang disebut oleh Subiakto sebagai fenomena media today, they talk back to you. “Itulah mengapa penting untuk memahami bagaimana mengelola mereka yang merespon pembicaraan Anda (di sosial media). Untuk humas yang tidak memanfaatkan new media? Than you’re finished”, tegasnya.

Sumber: Pelindo.co.id