Membangun bisnis idealnya berarti membangun brand. Brand butuh penarik agar audiens mau melirik. Disinilah perlunya brand. Bicara soal magnet brand berarti bicara juga soal perceived value. Apa itu perceived value?
Perceived value ini mengacu ke suatu atribut non-fisikal yang membuat suatu produk Anda jadi superior among the competition. Ini diukur oleh seberapa tinggi harga yang orang bersedia bayar untuk produk anda, di mana terbentuk berdasarkan faktor emotion, social, dan culture.
Sebagai contoh, well-established brand bisa mematok harga lebih tinggi dibanding produk sejenisnya yang generic. Ini karena sudah terbentuk perceived value dari pelanggannya.
Higher prices often show premium products and many customers would happily pay extra for what they feel is a superior option.
Contoh lainnya, barang mewah misalnya, value-nya ekstra karena ada unsur prestige, yang mana ini bukan dilihat dari sisi fungsionalnya, tapi dari feeling atas seberapa berkelasnya anda ketika memiliki dan menggunakan barang mewah tersebut.
Perceived value dari jam tangan Rolex tentu bukan dilihat dari fungsi (karena fungsinya sama saja seperti produk jam tangan lainnya), tapi karena identik dengan image kesuksesan seseorang dan taste yang berkelas.
Ada lagi contoh, produk-produk dengan embel-embel ethical standpoints, misalnya non-animal tested, gluten-free, fair-trade, organic, vegan-friendly, recyclable, dan sebagainya. Standpoint-standpoint ini meningkatkan perceived value sekaligus customer experience, makanya muncul juga istilah premium pricing.
Begitu juga dengan Starbucks.
Customer kedai kopi ini juga sudah punya perceived value sendiri. Mereka rela membayar mahal hanya untuk dapat secangkir kopi. Padahal sebetulnya kopinya tidak jauh berbeda dengan kopi lainnya. Again, this is how perceived value works for a brand, rela bayar dengan harga tinggi untuk mendapatkan value yang sepadan.
Bagaimana dengan produk Anda?
Value apa yang bisa membuat customer Anda bersedia membayar lebih?