Memiliki produk yang cenderung sama dengan produk yang dimiliki kompetitor merupakan salah satu maslaah yang biasa dihadapi pebisnis. Oleh karena itu proses branding sangat krusial perannya di sini untuk membuat perbedaan. Pemasaran diperlukan agar calon konsumen mampu melihat perbedaan yang ditawarkan.
“Branding membedakan diri kita dari pesaing. Marketing membuat calon konsumen melihat perbedaan itu” menurut Subiakto Priosoedarsono atau lebih akrab disapa Pak Bi.
Lalu apakah cara pemasaran yang biasa dilakukan sejak 20 tahun yang lalu masih relevan dan efektif untuk diterapkan saat ini? Beberapa metode tentu masih relevan dilakukan, namun media dan perilaku konsumen telah banyak mengalami perubahan sejak teknologi internet sudah menjadi pegangan sehari-hari sebagian besar penduduk Indonesia.
“Life after google membuat marketing rontok” begitulah kira-kira kata Pak Bi, mengapa demikian?
“In the Life before google persona Target Market menitik beratkan pada segmentasi geografis dan demografis. In the Life after google target market menitik beratkan pada psychograph dan behavioris,” jawab Pak Bi.
Tidak heran jika sekarang big data atau informasi yang telah tersegmentasi menjadi begitu mahal harganya saat ini. Media sosial seperti Facebook mampu melakukan segmentasi pada iklan-iklan yang ditampilkan di halaman depannya sesuai dengan data psycograph dan behavioris calon konsumen.
Selain itu, dulu sebelum era Google, tujuan pemasaran adalah membuat permintaan melalui brand awareness. Sedangkan saat ini di era setelah adanya Google, konsumen telah mengetahui segalanya terkait produk yang ingin mereka beli, konsumen bahkan dapat melakukan perbandingan dan testimoni terkait produk tersebut.
“In the Life before google, marketing goal is to create demand through brand awareness. In the Life after google consumers know-it-all. Mereka googling sebelum beli. Mereka bandingkan produk sebelum beli.” lanjut Pak Bi.
Menyikapi perubahan paradigma tersebut, hanya satu yang membutakannya menurut Pak Bi. LOYALTY-TO-BRAND.