UKM Kaki Lima Perlu Branding?

UKM Kaki Lima Perlu Branding?

Mindset kita kerap berasumsi bahwa setiap bentuk usaha sekecil pun membutuhkan branding.

 

Padahal nyatanya tidak.

 

Sebut saja, usaha kaki lima.

 

Tanpa repot menciptakan branding, brand mereka bakal terbentuk dengan sendirinya. Khusus dalam konteks UKM kaki lima ini, tidak perlu stimulan untuk menumbuhkan pantulan atau persepsi.

 

Teori Pak Bi soal branding memang tidak bisa disangkal, namun nyatanya memang ada beberapa jenis usaha yang pada prakteknya tidak memerlukan branding seperti usaha-usaha pada umumnya, karena brand mereka tercipta secara organik.

 

Inilah yang sering Pak Bi sebut sebagai Maternity Branding.

 

Menurut beliau, terciptanya sebuah brand diibaratkan seperti proses ibu melahirkan.

 

Ketika seorang ibu melahirkan, bayinya biasanya dibawa langsung ke ruangan khusus bayi sementara ibunya di ruang rawat.

 

Bayi tersebut kemudian diberi tindakan lebih lanjut, seperti dibersihkan, dimandikan, dikenakan pakaian, dipakaikan bedong, lalu dipasangkan gelang yang diberikan nama sebagai sebuah identitas.

 

Nama siapa yang tercantum di gelang tersebut?

 

Bukan nama bayinya, tapi nama ibunya: “Ny. Tutty”, misalnya.

 

Identitas itu akan berlaku sampai bayi bersangkutan diberi nama sendiri, diberi identitas sendiri untuk lepas dari idenititas ibundanya.

 

Jika tidak, maka selamanya anak itu akan dikenal sebagai “Anak Ibu Tutty”.

 

Konteks terebut sama halnya dengan brand Gudeg Yu Djum, Ayam Goreng Suharti, Bebek Goreng Pak Slamet, Geprek Bensu, dan masih banyak lagi.

 

Brand-brand ini lahir karena mereka tidak memberikan nama khusus untuk usaha mereka, sengaja atau tidak.

 

Yang terjadi, hasilnya nama pemiliknya-lah yang dijadikan brand.

 

Nah, brand-brand UKM ini tidak memiliki strategi branding khusus.

 

Jika ditinjau dari sisi marketing 4P pun, mereka hanya bermain di P yang pertama, yakni PRODUCT. Ketiga P lainnya seperti Price, Place, dan Promotion, cenderung tidak ada.

 

Mereka tidak bermain di fluktuasi harga yang mengikuti pasar, karena biasanya harganya relatif stabil tanpa pengaruh apapun, kecuali mungkin ketika seandainya harga sembako naik drastis, mereka baru mau menaikkan harga.

 

Place? Para pemilik usaha kaki lima ini biasanya punya tempat mangkal khusus untuk mengeset jualannya. Sekalinya keliling pun mungkin akan mengitari daerah yang sama setiap harinya, tentu saja yang bisa dijangkau ke mana kaki melangkah.

 

Promotion? Jarang di antara mereka yang punya medsos untuk jualan. Pasang iklan? Mereka jarang mempersiapkan budget untuk hal tersebut. Promosi paling mungkin terjadi justru di antara para pelanggannya.

 

The power of word of mouth (WOM).

 

Ya, brand tercipta dengan sendirinya, tumbuh dengan organik dan cenderung konvensional.

 

Apakah ini berhasil? Berhasil untuk beberapa dari mereka. Kuncinya adalah konsisten dengan Unique Selling Proposition, berani tampil dengan keunikannya.

 

Tanpa perlu ber-planning akan strategi dan konsep marketing dan branding, penjualan mereka besar, omset pun bagus.

 

Selanjutnya? Simak pengetahuan seputar branding dan UKM yang dibagikan oleh Pak Bi di akun Instagram, karena beliau banyak membahas hal-hal menarik seputar branding, UKM, dan banyak hal dari A sampai Z.

 

Jangan khawatir tidak paham, karena Pak Bi mengemasnya dengan bahasa “nyeleneh” khas beliau sehingga mudah kita pahami. Dijamin tidak jemu untuk disimak.

 

Yuk belajar branding bersama pakarnya!

Penulis : Nungki Mayangwangi
Editor    : Budi Pranoto