Masih melekat dalam ingatan bagaimana alm. Papie saya setiap pagi membaca koran sehabis sarapan sambil menyeruput secangkir kopi hitam dan menikmati rokok tembako ‘Warning’nya.
Saya perhatikan beliau hanya membaca Headline, Photo dan Caption. Jarang membaca artikelnya yang panjang “Disimpan buat nanti istirahat makan siang banyak waktu”
Belakangan setelah saya nyebur ke dunia periklanan saya baru tahu mengapa alm. Papie saya melakukan RITUAL seperti itu.
David Ogilvy tokoh periklanan bahkan bilang “On the average, five times as many people read the headline as read the body copy. When you have written your headline, you have spent eighty cents out of your dollar.”
“Rata rata pembaca membaca headline 5x lebih banyak dari yang membaca bodycopy (artikel)”.
Membaca artkel memang butuh waktu. Kurang pas bagi alm. Papie saya yang hanya punya waktu sedikit dipagi hari.
Yang kedua mengapa Photo? Photo yang menarik buat pembaca News paper (koran) adalah photo reportase sebuah kejadian.
Disini benar bahwa melihat fotonya langsung bisa menebak artikelnya.
Khususnya setelah membaca CAPTION dibawah photo yang menjelaskan kejadian yang ada di Photo.
Saya pikir cara membaca koran itu sudah kuno. Ternyata masih relevan sampai sekarang.
Apa yang disediakan oleh Instagram untuk membuat content adalah yang paling sempurna. Karena meletakkan Photo diatas sebagai Stopping Power.
Tidak seperti Facebook, Twitter atau Telegram.
Cara audience Instagram membaca sebuah postingan persis ritual yang dilakukan alm. Papie saya 60 tahun yang lalu.
Makanya saya lebih suka posting di Instagram dengan Headline dan Visual sebagai Stopping Power dan Caption sebagai Stricking Power dan Sticking Power.